Dawai Hati

Dawai Hati
Rindu kamboja pada setangkai bias jingga senja dakam alunan denting dawai hati

Selasa, 22 Agustus 2017

JUDI

Jika lelahku adalah musibah,  seharusnya tak kutunggu dengan setelah
Jika hanya sia sia yang menjadi sudah,  seharusnya aku buang secepat entah
Tapi semua seakan menanti jeda,  mengharap depa
Untuk sebuah ketuk yang dinanti sekian denyut
Untuk sebuah ambigu
Mengundi pasti yang sebenar semu

DDH 220817

Kamis, 07 Agustus 2014

Maaf Jika Berbeda

Pagi ini ada yang hilang dari aroma secangkir kopi, mungkin kehangatan yang mulai mendingin karena cuaca yang telah gerah sepagi ini.

Ada yang kurang dari sapa murai tadi itu, entah celoteh tanpa nada atau notnot yang hilang tertiup angin kemarau pagi ini.

Sungguh hari ini adalah beda. Aku juga. Baju dan riasku hari ini berbeda. Pun tawa dan bahasa yang akan aku berikan nanti.

Maaf jika kita berbeda

DDH, 08082014

Rabu, 23 Juli 2014

SAAT CINTA MENGUKIR KISAH



sepuluh perjalanan waktu mengkisahkan
tautan rasa dari separuh catatan Yang Kuasa
antara gelak yang cipta, juga derai yang pernah
lerai
mengisi lembaran-lembaran kita

senja masih di hujung sana
tak biar cinta berai sebelum sampai
peluk eratlah jiwa, kalungkan aku asa
kita tenun bersama
lembayung di kaki cakrawala
saat senja menyapa, berbagi rona

masih ingatkah?
dua mata senja menyemai renjana
pada sembilan butir mutiara
di tahun yang sama
dua ribu empat tetesan bahagia
di altarnya janji itu tercipta

sepuluh perjalanan waktu mengkisahkan
tautan rasa dari separuh catatan Yang Kuasa
antara gelak yang cipta, juga derai yang pernah
lerai
pada lembaran suratan kita
masih ingatkah?

DDH, 24072014

Rabu, 02 Juli 2014

AKU


SEBUAH KISAH





kesunyiaan adalah teman sejati dalam mengarungi kehidupan tanpa belas kasih. tak ada teman yang lebih mengerti dari arti kesunyian selain dirinya sendiri, tak ada kisah paling indah selain rajutan sepi pada dinding-dinding kamar tanpa jendela pun daun-daun pintu. semuanya adalah kehampaan yang mengisi setiap ruang dan rongga jiwa kehidupan tanpa nama. lalu masih tersisakah gelak tawa celoteh mesra burung-burung saat mentari pagi pamerkan keindahannya di pucuk-pucuk pinus dan rasamala yang jadi suluk dalam perjalanan sang waktu?

masih adakah sunyi paling sepi ketika malam menjadi mahar atas semua kristal-kristal bening tanpa kedung penampung segala lara dan penat? dan purnama-- lihatlah purnama yang hilang cahaya saat gelapnya awan merenggutnya menjadi temaram paling dangkal lalu mengusirnya pelan dan membungkam diam dalam putaran waktu tanpa tanya pun jawaban.

aku---masih di sini, mengukir sajak-sajak dingin tentangnya. tentang kesunyian dalam rengkuh sang waktu di bawah chandrama tanpa cahaya. hingga saatnya nanti, aku--kamu mengerti


DDH, 03072014

Senin, 30 Juni 2014

ADAKAH

demikian waktu mengabarkan tentang kerinduan yang bertahta
di reranting juga pucuk-pucuk cemara pagi ini
melalui sebuah lagu
melalui sebuah syair
hati bercengkerama mesra
pada secangkir hangat kopi hitam pekat

sesekali burung gereja menggoda
celoteh bimbang, kadang candaan
mengukir senyum yang kadang terpaksa
karena kaku dan kelunya tuk berkata

adakah sepiring harapan tersisa
atau secawan doa mengangkasa
untuk atma-atma penuh cinta
dalam dekap rindu yang semakin erat

sesak !
terkadang penat
mengubur hidupkan semua rasa
di pusara-pusara tanpa nisan

waktu masih melagu
sejumlah tembang masih 'ku dengar
meski sayup, samar kemudian tak terdengar
hilang bersama peluk erat lelah berpeluh resah

DDH, 18062014

PUTIH


Putih
kini putih, selimuti diri
melupa sebuah warna
mengubah sebuah kisah

putih kini singgasana
tempat aku melihat dunia
tanpa nama juga lara
tanpa hampa juga nestapa

putih kini kelopakku
tanpa putik
putih kini istanaku
tanpa punggawa

biarlah semua memutih
pudarkan semua warna yang ada
hilangkan sejumlah prasangka
dalam putih kini 'ku berada

DDH, 18062014

EVERAFTER




"Kamu kenapa, Meg?!" Kenzo terkejut melihat ceceran darah di seragam putih Megumi.

"Tak apa," jawabnya singkat sambil menyeka cairan merah segar itu dari hidungnya.

Sudah tiga hari ini, Megumi selalu mimisan. Dan kali ini Kenzo melihatnya, setelah dua hari lamanya Me menutupinya dari Kenzo. Me gadis yang ceria, tidak pernah ada kabut hitam menyelimuti raut wajahnya yang mungil seperti boneka barbie itu. Perawakannya yang tinggi, kecil terlihat lincah bila sedang bermain bola voli di sekolahnya.

Me, adalah sapaan akrab Megumi. Sudah seminggu ini Me terlihat aneh. Dia jadi tertutup dan jarang kumpul bersama teman-temannya lagi. Sachi adalah sahabat Me yang merasa sangat kehilangan dia. Setiap Sachi mendekat dan mengajaknya untuk bercanda, Me selalu menghindar. Yang capeklah, yang sibuklah ... dan selalu saja ada alasan untuk menolak ajakan Sachi.

Teng ... teng ...
Bel istirahat nyaring berdentang. Beberapa siswa berhamburan keluar kelas. Mungkin di dorong rasa lapar atau ingin segera menghirup nafas kebebasan dari pelajaran yang memeras otak mereka. Di koridor laboratorium, Kenzo celingukan seperti sedang mencari seseorang.

"Dooorrr!"

"Ampuuun ..." Kenzo membalikkan badan sambil mengangkat kedua tangannya. Dia kemudian menggeliat sedikit merunduk ketika seorang gadis di depannya, menggelitik ketiaknya.

"Ampun, Me ... udah! Geli tau," Kenzo menghiba sambil mencoba menarik hidung Me.

"Hayooo, lagi nyariin siapa?"

"Aku nyariin kamu dari tadi, dari bawah bangku kelas nyampe dalam rak-rak di lab."

"Enak aja. Emang aku tikus apa? Di cari di kolong bangku,"

Saat mereka saling ledek, Sachi datang mendekati mereka. Megumi langsung berhenti bicara. Kenzo yang tak menahu apa yang terjadi di antara mereka pun ikut terdiam.

"Echeeem ... maaf mengganggu," kata Sachi sambil berniat melangkah pergi. Tetapi tangan Megumi segera menyambar pergelangan tangan Sachi. Dia tersenyum dan memberi isyarat untuk tetap tinggal. Akhirnya mereka bertiga bercanda seperti biasa sebelum seminggu ini.

***
"Sachi, maaf jika sikapku seminggu ini agak berbeda. Mungkin ada sedikit cemburuku padamu tentang Kenzo. Setelah tak sengaja aku menemukan surat-surat kalian di dalam buku Ken. Aku mungkin terlalu egois, tak menyadari apa yang terjadi. Sehingga membedakan cinta dan kasihanpun aku tak tahu. Maaf jika kehadiranku merusak hubungan kalian. Terimakasih telah berbagi hati denganku, meski seharusnya kamu tak perlu lakukan itu. Sahabat bukan seperti itu Sachi. Seharusnya kalian jujur padaku tentang hubungan kalian, bukan malah bersandiwara menjelang kematianku. Tapi aku mengerti, mengapa kamu lakukan itu. Terimakasih kau mau menjadi sahabat terbaikku selama ini. Maafkan semua kesalahanku. (Megumi)

Menetes bulir kristal bening dari kelopak mata Sachi yang sayu. Di lipatnya surat dari Megumi yang di kirim via post itu. Biasanya mereka saling telepon atau berbalas pesan singkat. Tetapi Me kali ini mengirim via post. Dilihatnya tanggal yang tertera di amplop berwarna biru muda itu. Tanggal 30-11-2013, cap post. Berarti surat di tulis tiga hari yang lalu.

Di tempat berbeda--Kenzo juga menerima surat dari Megumi. Hanya ucapan terimakasih dan permintaan maaf yang tertulis di sana.

Kriiiing ...
Ponsel Kenzo berbunyi. "Sachi ... memanggil"

"Hallo, Twey. Ada apa?" jawab Kenzo kemudian. Tweety adalah panggilan kesayangan Ken pada Sachi.

"Oh, iya. Tunggu di tempat biasa ya!" jawab Kenzo lagi. Belum satu menit berlalu, ponselnya berbunyi lagi.

"Ya, Tante? Ada apa?" sahutnya kemudian. Lama dia mendengarkan suara di ujung sana. Tiba-tiba ponselnya terjatuh dan dia terkulai lemas jatuh terduduk di lantai kayu kamarnya. Dia menjambaki rambutnya dan sesekali memukulkan tangan ke lantai. Teringat sesuatu, Ken langsung berdiri dan menyambar kunci sepeda motornya di atas meja belajar.
Dengan kecepatan tinggi dia pergi menuju taman di pinggir danau. Di sana Sachi telah menunggunya dengan mata yang sembab. Tanpa berbicara apapun, Sachi naik ke atas motor. Tak ada satu kata pun keluar sepanjang perjalanan.

***

TPU "Kamboja Putih"

"Maaf jika cara kami salah, Me. Tapi kami yakin kamu sudah berbahagia dio sana. Doa kami selalu menemanimu. Semoga kita bisa bertemu lagi nanti. Di masa dan tempat yang berbeeda."

Sachi mengelus nisan bertuliskan nama Megumi Yhasi. Dan sekuntum kamboja jatuh tepat di pangkuan Sachi.
"Terimakasih, Me."

-Tamat-

DDH, 19062014

"5"




Sudah seminggu aku perhatikan ada kehidupan di rumah itu. Tetapi sekalipun aku tidak pernah melihat seseorang keluar rumah, meski hanya untuk duduk atau bermain di teras rumahnya. Lampu menyala jika malam datang. Dan suara gelak tawa penghuninya pun aku dengar dengan jelas setiap melintasi jalan depan rumah itu. Rasa penasaranku mulai menyeruak. Aku berkali tanya Bi Mila, tetangga yang rumahnya berhadapan langsung dengan rumah itu. Tatapi dia selalu menjawab sama. "Tidak pernah lihat". Aku mengajak sepupuku Andri untuk bertamu ke rumah itu. Awalnya Andri menolak, dengan alasan nggak penting. Setelah aku rayu dengan uang seratus ribuan, akhirnya dia setuju.

Sore itu aku dan Andry mendatangi rumah misterius itu. Pintu pagarnya tidak dikunci. Kami lalu masuk ke halaman rumah. Lengang. Tak ada suara orang bercanda seperti yang biasa aku dengar. Kami mulai menaiki anak tangga menuju teras rumah. Aku melirik kaca jendela yang tertutup Gordyn putih tipis. Aku lihat ada cahaya televisi , dan seorang anak sedang dudukdi atas kereta kuda dari kayu. Di sebelahnya ada seorang wanita tengah asyik menonton TV.
Aku mulai mengetuk pintu. Andry yang ketakutan sedari tadi mulai berisik minta pulang.

"Masuk aja, tidak dikunci kok."

Suara seorang wanita menyuruh kami masuk. Aku membuka pintu itu perlahan.

Kreeeek

Suara derit pintu memecah hening. Aku lihat ke dalam, anak dan wanita yang aku lihat tadi sudah tidak ada. Jarak lima inci dari pintu, aku liat ada garis berwarna merah seperti sorotan cahaya laser mainan Mita adik bungsuku. Andry masih berdiri di depan pintu, tanpa curiga apapun aku melangkah melewati garis itu.

Kreeek

Aku terkejut pintu rumah itu tertutup sendiri dengan cepat. Aku lihat Andry masih berdiri di luar. Aku berteriak memanggilnya, mengajak dia masuk. Tapi tidak ada respon. Garis merah itu menghilang, dan tiap kali aku mencoba mendekati pintu, aku pasti terpental.

"Selamat datang, Om. Om adalah orang kelima yang akan menemani kami di sini, di dunia yang dibatasi jarak lima inci dari dunia lainnya.

-Tamat-