Dawai Hati

Dawai Hati
Rindu kamboja pada setangkai bias jingga senja dakam alunan denting dawai hati

Senin, 30 Juni 2014

NOVEL BERDARAH


Usai bel sekolah berdentang, kelas menjadi sepi. Hanya beberapa gadis berseragam putih abu-abu yang masih bercanda di sudut-sudut sekolah. Di taman, seorang gadis berambut lurus dengan mata yang bulat, bibirnya merah ranum dengan kulit sawo matang sedang duduk sendiri. Tak ada kata lain untuk menggambarkan kecantikan dan keanggunannya selain satu kata "sempurna". Da tengah asyik membaca majalh yang ada di tangannya. Sesekali dia menyibak mahkota indahnya karena tertiup angin siang itu.

"Sya, kamu tidak pulang? Sedang nunggu seseorangkah?"

Rasya, nama gadis itu. Dia menoleh ke arah pemuda yang baru saja menyapanya. Raditya, pemuda wajah oriental dengan rambut style korea. Matanya agak sipit dan bibirnya tipis, sangat mungil. Mirip dengan aktor di tokoh-tokoh kartun. Dia tersenyum melihat Rasya memandanginya tak berkedip.

"Hei!" Raditya mengibas-ibaskan jemari tangannya di depan muka Rasya.

"Eh, i-iya Dit. Ada apa? kenapa?" Rasya tergagap karena malu.

Raditya duduk di sebelah Rasya. Sesekali melirik majalah di tangan gadis itu. Perbincangan antara merekapun berakhir dengan canda tawa. Hingga waktu menjelang sore, meraka beranjak pulang. Di perjalanan pulang, Rasya mendadak histeris. Raditya kebingungan dengan kejadian itu. Rasya terus berteriak-teriak seperti ketakutan.

"Tidak! Bukan aku ... pergi!" Rasya terus berteriak seperti itu. Raditya berusaha menyadarkannya, tetapi Rasya malah mendorongnya kuat hingga Raditya jatuh tersungkur. Begitu kuatnya Rasya mendorong tubuh Raditya, hingga bibirnya terluka dan berdarah terbentur bebatuan di jalan itu. 

"Sya! Sadar, Sya. Ini aku Radit, teman kamu."

 "Aaah ...," balok kayu sebesar kaki Radit hampir saja mendarat di kepalanya. Untung saja dia berhasil berkelit, menghindar. Dengan sigap Radit langsung merampas kayu yang ada di tangan Rasya, dan membuangnya. Dia melepas ikat pinggangnya, dan mengikat Rasya. Rasya berontak, memaki-maki Radit. Matanya memerah dan bibirnya mendesis, seperti ular. Radit berteriak meminta tolong, kepada orang-orang yang melintas jalan itu. Tapi nihil, semua seakan tidak peduli.
Radit mulai kebingungan, dia hanya bisa melihat Raysa meronta dengan bringasnya.  Sedikit tak percaya dengan apa yang terjadi pada Raysa. Ya ... bagaimana mungkin, gadis yang begitu anggun, cantik, lemah lembut itu menjadi sesosok makhluk yang sangat mengerikan. 

"Radit, tolong aku, lepaskan aku, ini sangat menyiksaku Radit," rengek Raysa, berharap  Radit akan melepaskan ikatannya. 

"Tidak Sya, jika aku melepaskan mu, kamu akan menyakiti dirimu sendiri," ucap Radit parau. Sebenarnya ia juga tidak tega melihat gadis yang dicintainya tersiksa seperti itu. 

"Ayolah Radit, bantu aku, akan aku jelaskan semuanya padamu. Apa kamu tega mengikatku seperti ini?" ucap Rasya memelas. Sepertinya ia sudah sadar dengan apa yang dilakukannya barusan. Radit pun memberanikan diri melepaskan ikat pinggangnya. Mereka duduk berdua disebuah bangku taman, Rasya menjelaskan semua kepada Radit. 

"Maafin aku ya, aku benar-benar tidak bisa mengendalikan emosiku, aku sangat takut Dit, bahkan untuk pulang sekalipun," dengus Rasya dengan nada yang sedikit aneh. 

"Kenapa?" tanya Radit penasaran. 

"Orang tuaku selalu bersikap kasar padaku, sebab itulah aku seperti ini," jawab Rasya. Radit hanya mengangguk pelan, ia percaya dengan apa yang dikatakan Rasya. Radit langsung merangkul tubuh Raysa dengan erat. Tanpa ia sadari, ternyata Raysa menyimpan sejuta rahasia yang tak ada satu orang pun yang tau. Termasuk orang tuanya sendiri. Dia seorang yang tertutup dan hampir jarang bergaul dengan siapapun, termasuk adiknya sendiri. Hari-hari dia di sekolah dan di kamar. Bahkan ibunya sendiri menyebut dia anak yang aneh. Pada saat-saat tertentu Rasya sering histeris. Karena perilakunya itu, keluarga dia sering mengikat atau mengurungnya di kamar mandi. Rasya beruntung memiliki teman yang mencintai dia meski dengan keanehan yang dia punya. Yah, Raditya. Pemuda itu mencintai Rasya semenjak mereka bertemu di kelas yang sama tahun ini.

“Tidak! Aku mohon, jangan ganggu aku lagi. Aku sudah lelah dengan semua ini. Apa sebenarnya mau kalian! Buku diary biru inikah yang kalian mau?” Rasya memelas tak berdaya. Dia bersimpuh di hadapan sebuah cermin sambil memeluk buku diary berwarna biru. Kemudian dia berdiri dan berlari ke atas ranjang yang tidak jauh dari tempatnya terduduk lemas.

“Pergi!!! ... sampai matipun aku tidak akan menyerahkannya pada kalian. Ini adalah hasil dari kerja kerasku selama ini, dan aku akan kirim secepatnya kepada penerbit.”

Klik!
Pintu kamar Rasya terbuka. Seorang perempuan paruh baya memasuki kamar. Dia menatap jengkel kepada Rasya.

“Kenapa lagi kau ini, Sya! Setiap hari kerjaan kamu hanya berteriak tidak jelas seperti itu. Sudah hentikan keinginanmu untuk menjadi penulis novel horror, itu yang membuatmu menjadi seperti ini. Termakan imajinasi sendiri. Besok Ibu antar kau menemui psikiater,” perempuan yang ternyata ibunya Rasya itu berlalu dengan membawa laptop dari meja belajar Rasya. Rasya menangis tersedu. Dia menjambaki rambutnya sendiri.

“Tak akan ada yang bisa melarang aku untuk terus menulis. Tidak juga dengan kalian para pencuri naskah!” Rasya teriak sambil memutar telunjuknya ke arah dinding-dinding di kamarnya itu.

Radit nampak kebingungan siang ini. Dia berjalan tergesa menyusuri koridor sekolahnya. Sesekali dia bertanya pada siswi yang sedang duduk-duduk di depan kelas. Rasya hari ini tidak sekolah, itu yang membuat Radit kebingungan. Dia takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, karena sekitar jam 3 pagi tadi Radit menerima pesan singkat dari Rasya. Dia berpamitan dan memohon maaf atas segala ulahnya selama ini. Setelah dipastikan Rasya tidak ada, Radit langsung berlari ke tempat parkir sekolah. Disambarnya helm yang menggantung di jok motornya, dan meluncur menuju rumah Rasya. Di perjalanan, perasaan Radit tak menentu. Berbagai prasangka dan bayangan yang buruk tentang Rasya terus melintasi benaknya.

“Sya, tenang dulu! Jangan gegabah dengan senjata itu.”

Prakkk!!!
Terdengar suara kaca pecah karena dilempar sesuatu. Suara bising dan teriakan-teriakanpun semakin keras dan terdengar hingga ke luar rumah. Radit yang baru saja tiba, semakin panik mendengar kegaduhan di dalam rumah. Dia langsung menghambur memasuki halaman dan mengetuk pintu. Tak ada jawaban, dan pintu itu terkunci rapat. Gordyn semua jendelapun tertutup. Suara gaduh tadi menghilang—sunyi. Laun terdengar musik klasik dari arah sebuah kamar. Radit berjalan mengitari rumah itu berharap menemukan celah untuknya masuk ke dalam. Kini suara tangisan yang terdengar dengan alunan musik mozart. Radit semakin bingung dan panik. Dia hampiri jendela kamar Rasya dan berteriak memanggil gadis itu. Tak ada jawaban. Tanpa sengaja saat mau berjalan ke arah belakang rumah, Radit tersandung sebuah linggis. Dia langsung mengambilnya, dan berlari ke arah pintu depan. Radit mencoba mendobrak pintu itu dengan linggis di tangannya.

Brakkk!!!
Pintu akhirnya berhasil dibuka. Alangkah terkejutnya Radit  melihat Ibu Indah, ibunya Rasya yang tergeletak bersimbah darah di atas sofa dengan mata yang melotot dan mulut menganga. Radit berjalan menuju kamar Rasya dengan hati-hati. Di ruang keluarga, Dinapun tewas dengan kaki terikat sebelah di tiang penyangga rumah itu. Dadanya berlubang dengan darah yang masih meleleh. Perasaan Radit semakin tidak menentu. Takut, penasaran dan tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Pintu kamar Rasya terbuka sedikit. Radit mencoba melihat ke dalam kamar, tetapi gelap. Dia tidak bisa dengan jelas melihat ke dalam. Di beranikan diri untuk membukanya lebih lebar, perlahan dia masuk.

“Sya, kamu dimana? Kamu baik-baik saja kan?”
Sambil menelan ludah karena tegang, Radit mencari saklar lampu kamar Rasya.

Klik!
Lampu neon berdaya 5watt itu menyala. Alangkah terkejutnya Radit, mendapati tubuh Rasya yang tergeletak di sudut kamar itu dengan pistol di tangannya. Kepalanya berdarah dengan tangan satunya memegang secarik kertas yang bersimbah darah juga. Radit meraih kertas yang bertuliskan huruf  “L”.

“L, apa maksudnya. Apa yang hendak Rasya sampaikan dengan huruf ini,” Radit mengernyitkan dahinya. Tiba-tiba dia mendengar suara langkah kaki mendekati kamar. Secepat kilat dia bersembunyi di balik lemari samping mayat Rasya.

“Aku harus bawa semua mayat ini, dan membuangnya di sungai atau jurang. Supaya polisi tak menemukan jejak kematian mereka. Dan ini adalah bab terakhir dari cerita yang di tulis Rasya. Ternyata begini rasanya.” 

Perempuan itu langsung memasuk  mayat Rasya ke dalam polybag berwarna biru. Radit terus memperhatikan apa yang dikerjakan perempuan itu. Dia tidak berani berbuat apa-apa. Dia takut menjaddi korban berikutnya. Mayat Rasya diseret keluar ruangan kamar dan disatukan dengan mayat Bu Indah juga Dina. Kemudian dia pergi ke belakang meraih kunci yang menggantung di pintu dapur. Satu persatu polybag berisi mayat itu ditarik dan dimasukkan ke dalam mobil.
Suara sirine mobil polisi terdengar mendekat. Perempuan itu panik, dan hendak melarikan diri. Secepat kilat Radit menarik tangan perempuan itu dan menamparnya hingga dia terjatuh.

“Kenapa?! Kenapa kau lakukan ini pada mereka, Lisa. Apa salah mereka padamu, hah!” teriak Radit meluapkan emosi yang tertahan semenjak tadi.
Lisa hanya tersenyum.

“Jadi kamu yang memanggil polisi itu? Aku hanya seorang fans, Radit. Dan aku hanya ingin masuk dalam cerita novel yang dibuat Rasya. Berulang kali aku mencari cara mengambil buku diary miliknya, tapi tidak berhasil. Hingga akhirnya aku memakai jasa dukun untuk membuat Rasya gila dan membuat keluarganya berniat memasukkan dia ke Rumah Sakit Jiwa. Dan itupun sesuai dengan cerita dalam novel Rasya sebelumnya. Hingga tadi malam aku berhasil merampas buku diary yang merupakan kelanjutan ceritanya. Dan sekarang sudah tamat. Tamat juga hidup Rasya,” jelas Lisa kemudian diiringi tawa yang membuat merinding bulu kuduk Radit. Akhirnya polisi berhasil menemukan mereka dan membawa Lisa juga Radit ke kantor polisi.

--Tamat--

Tidak ada komentar: