Usai bel
sekolah berdentang, kelas menjadi sepi. Hanya beberapa gadis berseragam putih
abu-abu yang masih bercanda di sudut-sudut sekolah. Di taman, seorang gadis
berambut lurus dengan mata yang bulat, bibirnya merah ranum dengan kulit sawo
matang sedang duduk sendiri. Tak ada kata lain untuk menggambarkan kecantikan
dan keanggunannya selain satu kata "sempurna". Da tengah asyik
membaca majalh yang ada di tangannya. Sesekali dia menyibak mahkota indahnya
karena tertiup angin siang itu.
"Sya,
kamu tidak pulang? Sedang nunggu seseorangkah?"
Rasya, nama
gadis itu. Dia menoleh ke arah pemuda yang baru saja menyapanya. Raditya,
pemuda wajah oriental dengan rambut style korea. Matanya agak sipit dan
bibirnya tipis, sangat mungil. Mirip dengan aktor di tokoh-tokoh kartun. Dia
tersenyum melihat Rasya memandanginya tak berkedip.
"Hei!"
Raditya mengibas-ibaskan jemari tangannya di depan muka Rasya.
"Eh,
i-iya Dit. Ada apa? kenapa?" Rasya tergagap karena malu.
Raditya
duduk di sebelah Rasya. Sesekali melirik majalah di tangan gadis itu.
Perbincangan antara merekapun berakhir dengan canda tawa. Hingga waktu
menjelang sore, meraka beranjak pulang. Di perjalanan pulang, Rasya mendadak
histeris. Raditya kebingungan dengan kejadian itu. Rasya terus berteriak-teriak
seperti ketakutan.
"Tidak!
Bukan aku ... pergi!" Rasya terus berteriak seperti itu. Raditya berusaha
menyadarkannya, tetapi Rasya malah mendorongnya kuat hingga Raditya jatuh
tersungkur. Begitu kuatnya Rasya mendorong tubuh Raditya, hingga bibirnya
terluka dan berdarah terbentur bebatuan di jalan itu.
"Sya!
Sadar, Sya. Ini aku Radit, teman kamu."
"Aaah ...," balok kayu sebesar kaki
Radit hampir saja mendarat di kepalanya. Untung saja dia berhasil berkelit,
menghindar. Dengan sigap Radit langsung merampas kayu yang ada di tangan Rasya,
dan membuangnya. Dia melepas ikat pinggangnya, dan mengikat Rasya. Rasya
berontak, memaki-maki Radit. Matanya memerah dan bibirnya mendesis, seperti
ular. Radit berteriak meminta tolong, kepada orang-orang yang melintas jalan
itu. Tapi nihil, semua seakan tidak peduli.
Radit mulai
kebingungan, dia hanya bisa melihat Raysa meronta dengan bringasnya. Sedikit tak percaya dengan apa yang terjadi
pada Raysa. Ya ... bagaimana mungkin, gadis yang begitu anggun, cantik, lemah
lembut itu menjadi sesosok makhluk yang sangat mengerikan.
"Radit,
tolong aku, lepaskan aku, ini sangat menyiksaku Radit," rengek Raysa,
berharap Radit akan melepaskan ikatannya.
"Tidak
Sya, jika aku melepaskan mu, kamu akan menyakiti dirimu sendiri," ucap
Radit parau. Sebenarnya ia juga tidak tega melihat gadis yang dicintainya
tersiksa seperti itu.
"Ayolah
Radit, bantu aku, akan aku jelaskan semuanya padamu. Apa kamu tega mengikatku
seperti ini?" ucap Rasya memelas. Sepertinya ia sudah sadar dengan apa
yang dilakukannya barusan. Radit pun memberanikan diri melepaskan ikat
pinggangnya. Mereka duduk berdua disebuah bangku taman, Rasya menjelaskan semua
kepada Radit.
"Maafin
aku ya, aku benar-benar tidak bisa mengendalikan emosiku, aku sangat takut Dit,
bahkan untuk pulang sekalipun," dengus Rasya dengan nada yang sedikit
aneh.
"Kenapa?"
tanya Radit penasaran.
"Orang tuaku selalu bersikap kasar padaku, sebab
itulah aku seperti ini," jawab Rasya. Radit hanya mengangguk pelan, ia
percaya dengan apa yang dikatakan Rasya. Radit langsung merangkul tubuh Raysa
dengan erat. Tanpa ia sadari, ternyata Raysa menyimpan sejuta rahasia yang tak
ada satu orang pun yang tau. Termasuk orang tuanya sendiri. Dia seorang yang
tertutup dan hampir jarang bergaul dengan siapapun, termasuk adiknya sendiri.
Hari-hari dia di sekolah dan di kamar. Bahkan ibunya sendiri menyebut dia anak
yang aneh. Pada saat-saat tertentu Rasya sering histeris. Karena perilakunya
itu, keluarga dia sering mengikat atau mengurungnya di kamar mandi. Rasya
beruntung memiliki teman yang mencintai dia meski dengan keanehan yang dia
punya. Yah, Raditya. Pemuda itu mencintai Rasya semenjak mereka bertemu di
kelas yang sama tahun ini.
“Tidak! Aku
mohon, jangan ganggu aku lagi. Aku sudah lelah dengan semua ini. Apa sebenarnya
mau kalian! Buku diary biru inikah yang kalian mau?” Rasya memelas tak berdaya.
Dia bersimpuh di hadapan sebuah cermin sambil memeluk buku diary berwarna biru.
Kemudian dia berdiri dan berlari ke atas ranjang yang tidak jauh dari tempatnya
terduduk lemas.
“Pergi!!!
... sampai matipun aku tidak akan menyerahkannya pada kalian. Ini adalah hasil
dari kerja kerasku selama ini, dan aku akan kirim secepatnya kepada penerbit.”
Klik!
Pintu kamar
Rasya terbuka. Seorang perempuan paruh baya memasuki kamar. Dia menatap jengkel
kepada Rasya.
“Kenapa lagi
kau ini, Sya! Setiap hari kerjaan kamu hanya berteriak tidak jelas seperti itu.
Sudah hentikan keinginanmu untuk menjadi penulis novel horror, itu yang
membuatmu menjadi seperti ini. Termakan imajinasi sendiri. Besok Ibu antar kau
menemui psikiater,” perempuan yang ternyata ibunya Rasya itu berlalu dengan
membawa laptop dari meja belajar Rasya. Rasya menangis tersedu. Dia menjambaki
rambutnya sendiri.
“Tak akan ada yang bisa melarang aku untuk terus
menulis. Tidak juga dengan kalian para pencuri naskah!” Rasya teriak sambil
memutar telunjuknya ke arah dinding-dinding di kamarnya itu.
Radit nampak
kebingungan siang ini. Dia berjalan tergesa menyusuri koridor sekolahnya.
Sesekali dia bertanya pada siswi yang sedang duduk-duduk di depan kelas. Rasya
hari ini tidak sekolah, itu yang membuat Radit kebingungan. Dia takut terjadi
sesuatu yang tidak diinginkan, karena sekitar jam 3 pagi tadi Radit menerima
pesan singkat dari Rasya. Dia berpamitan dan memohon maaf atas segala ulahnya
selama ini. Setelah dipastikan Rasya tidak ada, Radit langsung berlari ke
tempat parkir sekolah. Disambarnya helm yang menggantung di jok motornya, dan
meluncur menuju rumah Rasya. Di perjalanan, perasaan Radit tak menentu.
Berbagai prasangka dan bayangan yang buruk tentang Rasya terus melintasi
benaknya.
“Sya, tenang
dulu! Jangan gegabah dengan senjata itu.”
Prakkk!!!
Terdengar
suara kaca pecah karena dilempar sesuatu. Suara bising dan teriakan-teriakanpun
semakin keras dan terdengar hingga ke luar rumah. Radit yang baru saja tiba,
semakin panik mendengar kegaduhan di dalam rumah. Dia langsung menghambur
memasuki halaman dan mengetuk pintu. Tak ada jawaban, dan pintu itu terkunci
rapat. Gordyn semua jendelapun tertutup. Suara gaduh tadi menghilang—sunyi.
Laun terdengar musik klasik dari arah sebuah kamar. Radit berjalan mengitari
rumah itu berharap menemukan celah untuknya masuk ke dalam. Kini suara tangisan
yang terdengar dengan alunan musik mozart. Radit semakin bingung dan panik. Dia
hampiri jendela kamar Rasya dan berteriak memanggil gadis itu. Tak ada jawaban.
Tanpa sengaja saat mau berjalan ke arah belakang rumah, Radit tersandung sebuah
linggis. Dia langsung mengambilnya, dan berlari ke arah pintu depan. Radit
mencoba mendobrak pintu itu dengan linggis di tangannya.
Brakkk!!!
Pintu
akhirnya berhasil dibuka. Alangkah terkejutnya Radit melihat Ibu Indah, ibunya Rasya yang
tergeletak bersimbah darah di atas sofa dengan mata yang melotot dan mulut
menganga. Radit berjalan menuju kamar Rasya dengan hati-hati. Di ruang
keluarga, Dinapun tewas dengan kaki terikat sebelah di tiang penyangga rumah
itu. Dadanya berlubang dengan darah yang masih meleleh. Perasaan Radit semakin
tidak menentu. Takut, penasaran dan tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Pintu kamar
Rasya terbuka sedikit. Radit mencoba melihat ke dalam kamar, tetapi gelap. Dia
tidak bisa dengan jelas melihat ke dalam. Di beranikan diri untuk membukanya lebih
lebar, perlahan dia masuk.
“Sya, kamu
dimana? Kamu baik-baik saja kan?”
Sambil
menelan ludah karena tegang, Radit mencari saklar lampu kamar Rasya.
Klik!
Lampu neon
berdaya 5watt itu menyala. Alangkah terkejutnya Radit, mendapati tubuh Rasya
yang tergeletak di sudut kamar itu dengan pistol di tangannya. Kepalanya
berdarah dengan tangan satunya memegang secarik kertas yang bersimbah darah
juga. Radit meraih kertas yang bertuliskan huruf “L”.
“L, apa
maksudnya. Apa yang hendak Rasya sampaikan dengan huruf ini,” Radit
mengernyitkan dahinya. Tiba-tiba dia mendengar suara langkah kaki mendekati
kamar. Secepat kilat dia bersembunyi di balik lemari samping mayat Rasya.
“Aku harus
bawa semua mayat ini, dan membuangnya di sungai atau jurang. Supaya polisi tak menemukan
jejak kematian mereka. Dan ini adalah bab terakhir dari cerita yang di tulis
Rasya. Ternyata begini rasanya.”
Perempuan
itu langsung memasuk mayat Rasya ke
dalam polybag berwarna biru. Radit terus memperhatikan apa yang dikerjakan
perempuan itu. Dia tidak berani berbuat apa-apa. Dia takut menjaddi korban
berikutnya. Mayat Rasya diseret keluar ruangan kamar dan disatukan dengan mayat
Bu Indah juga Dina. Kemudian dia pergi ke belakang meraih kunci yang
menggantung di pintu dapur. Satu persatu polybag berisi mayat itu ditarik dan
dimasukkan ke dalam mobil.
Suara sirine
mobil polisi terdengar mendekat. Perempuan itu panik, dan hendak melarikan
diri. Secepat kilat Radit menarik tangan perempuan itu dan menamparnya hingga
dia terjatuh.
“Kenapa?!
Kenapa kau lakukan ini pada mereka, Lisa. Apa salah mereka padamu, hah!” teriak
Radit meluapkan emosi yang tertahan semenjak tadi.
Lisa hanya
tersenyum.
“Jadi kamu
yang memanggil polisi itu? Aku hanya seorang fans, Radit. Dan aku hanya ingin
masuk dalam cerita novel yang dibuat Rasya. Berulang kali aku mencari cara
mengambil buku diary miliknya, tapi tidak berhasil. Hingga akhirnya aku memakai
jasa dukun untuk membuat Rasya gila dan membuat keluarganya berniat memasukkan
dia ke Rumah Sakit Jiwa. Dan itupun sesuai dengan cerita dalam novel Rasya
sebelumnya. Hingga tadi malam aku berhasil merampas buku diary yang merupakan
kelanjutan ceritanya. Dan sekarang sudah tamat. Tamat juga hidup Rasya,” jelas
Lisa kemudian diiringi tawa yang membuat merinding bulu kuduk Radit. Akhirnya
polisi berhasil menemukan mereka dan membawa Lisa juga Radit ke kantor polisi.
--Tamat--
Tidak ada komentar:
Posting Komentar