Dawai Hati

Dawai Hati
Rindu kamboja pada setangkai bias jingga senja dakam alunan denting dawai hati

Senin, 30 Juni 2014

JANGAN SAKITI SAHABATKU!


Matahari telah naik sepanjang galah, dan burung-burung telah ramai berkicau menyambut pagi hari ini. Begitupula dengan Tia yang panik mempersiapkan diri berangkat sekolah. Terlambat bangun adalah kebiasaan Tia selepas hari libur.

“Tia, ayo berangkat!” teriakan temannya, Tasya yang sudah menunggunya sejak tadi.
Tia lantas bergegas menyambar tas dan buku-buku besarnya. Segera dia keluarkan sepeda dan menyimpan peralatannya di dalam keranjang sepeda. Mereka berdua mulai mengayuh sambil sesekali terdengar canda tawa keduanya. 

Pada sebuah persimpangan jalan mereka terhenti karena terhalang oleh kerumunan orang. Sepertinya baru saja terjadi kecelakaan. Merasa sudah terlambat, mereka tidak turut melihat apa yang sedang terjadi. Dilanjutkannya perjalanan menuju sekolah.
Jam pelajaran di mulai. Tia terlihat mengantuk dan berulangkali dia menguap.

“Anak-anak, sekolah kita tengah berduka. Salah satu dari teman kalian ada yang meninggal. Ara anak kelas IA. Jadi hari ini sepulang sekolah kita bersama-sama takziyah ke rumah Ara,” pengumuman dari Bu Indah membuat kantuk Tia mendadak hilang. Tia adalah seorang yang terkenal sangat penakut.

Siang sangat terik, panasnya membakar kulit. Tia bersama teman-teman juga para guru pergi takziyah ke rumah Ara. Ara adalah sahabat baru Tia dan Tasya. Tetapi Ara lebih terlihat dekat dan akrab dengan Tasya. Mungkin karena sifat Tasya yang ramah juga supel. Dan yang lebih mengejutkan lagi, ternyata Ara meninggal karena di bunuh. Dari keterangan ibunya Ara, Ara dibunuh dengan sadis. Pembunuh memukulnya dengan kayu hingga beberapa bagian tubuh Ara remuk dan mengalami patah tulang, menurut hasil otopsi dari rumah sakit. Dan pembunuh itu meninggalkan kayu yang dipakainya untuk membunuh Ara bersama setangkai mawar dari kertas.

Dalam beberapa hari, peristiwa yang menimpa Ara tetap menjadi misteri dan menjadi topik di kantin sekolah. Beberapa dugaan menjadi mencuat, tetapi tetap tidak ada titik temunya.

“Hai Tia, Tasya ... boleh aku bergabung duduk disini?” kata Rima sambil menaruh porsi makanannya di meja makan kantin. Tia dan Tasya tersenyum. “Silakan, gak apa-apa kok. Ini kan tempat umum,” sahut Tia kemudian. Rima tersenyum dan mengajak keduanya berbincang, bercanda bersama.
Sejak hari itu, Rima menjadi dekat dengan Tia dan Tasya. Mereka selalu belajar bersama dan main bersama. Tasya adalah siswa teladan yang prestasinya tidak diragukan lagi. Berbagai  lomba dia menangkan, sedang Tia siswa berprestasi dalam bidang olahraga. Mereka adalah siswa kebanggaan sekolah. Rima sangat senang bersahabat bersama mereka, selain mereka cerdas-cerdas keduanya juga ramah.

Hingga pertengkaran itu terjadi, semua menjadi berbeda. Rima berselisih paham dengan Tasya masalah Romi. Romi adalah teman dekat Tasya yang akhir-akhir ini dekat dengan Rima. Dan sepertinya Rima menyukai Romi. Itu yang membuat Tasya gusar. Tia pun jadi sering jadi tumpahan amarah Tasya. Dan Tia memahami itu, dia dengan sabar menemani dan memberi semangat pada Tasya.

Malam merayap hening, tetapi tidak dengan suasana yang terjadi di taman kota. Sepulang dari tempat Tia, Tasya menemukan Romi sedang duduk bersama Rima di taman. Kecemburuan Tasya kian memuncak. Pertengkaranpun tidak dapat dielakkan. Tetapi bisa diredam kemudian oleh Romi yang mengajak Rima pulang dan meninggalkan Tasya menangis sendiri di bangku taman malam itu.
Keesokan harinya sekolah Tasya gempar dengan berita kematian Rima. Lagi-lagi tentang pembunuhan. Belum ada sebulan, sekolah dihebohkan dengan kedua siswanya yang meninggal karena dibunuh.dan pembunuh itu meninggalkan jejak yang sama dengan jejak yang ditinggalkan sewaktu membunuh Ara. Kayu balok dan setangkai mawar kertas. Sedang kasus bergulir, belum ditemukan siapa pelaku dari setiap kejadian itu. Tia dan Tasya yang baru saja sampai di kelas mereka sontak terkejut. Mereka tidak percaya sahabat baru mereka yang jadi sasaran pembunuhan lagi. Romi menuduh Tasyalah dalang dari peristiwa yang menimpa Rima. Motifnya adalah cemburu dan dendam dengan kejadian semalam. Tasya berontak dan menangis, dia tidak menyangka orang yang amat disayanginya menuduh dia sekeji itu. Tia terus mendampingi Tasya dan menghiburnya. Dia percaya Tasya tidak akan tega berbuat itu.

“Kamu masih menuduh aku pelaku pembunuhan Rima, Rom?” tanya Tasya siang itu di kantin sekolah. Romi diam dan tidak memberi respon apa-apa. Matanya tetap tertuju pada layar telepon ditangannya. Tak bergeming sedikitpun. Rima merasa kecewa dengan sikap Romi yang menuduhnya seperti itu.

“Kalaupun kamu marah padaku tak apa, Rom. Mungkin aku memang salah, tetapi aku bukanlah pembunuh,” terakhir kalinya Tasya memberi penjelasan pada Romi yang masih saja diam tak berkata sepatah katapun. Tasya pergi meninggalkan Romi sambil menahan tangis. 

“Rom, kamu masih beranggapan Tasya yang membunuh Rima?” kata Tia yang duduk menghampiri Romi selang beberapa menit kepergian Tasya.

“Sebenarnya aku juga nggak menuduh langsung seperti itu. Aku hanya curiga karena semalam mereka habis bertengkar hebat. Dan itu aku saksinya. Yah, hati orang mana kita tau sih,” jawab Romi sinis. Tia tidak bisa berkata apa-apa mendengar jawaban Romi yang yakin sekali jika Tasya adalah tersangka utama pembunuhan Rima.

Sore menjelang malam, Tasya yang masih bersedih dan putus asa karena tuduhan itu masih menangis. Matanya sembab dan mukanya kusut. Hingga satu nada dering ponselnya berbunyi, dia tetap tidak peduli. Ponsel berdering berulang kali, memaksa Tasya menjawab telepon itu.

“Sya, maafkan aku ya. Aku sudah menuduhmu tanpa bukti dan membuat kamu menangis. Aku terlalu dikuasai amarah sejak malam itu,” suara parau di ujung sana membuat tangis Tasya menjadi.

“Aku ingin minta maaf secara langsung, temui aku di taman kota seperti biasa. Aku menunggumu, Sya!” Romi berharap Tasya mau datang dan memaafkannya.

Jalanan lengang, hanya satu dua saja kendaraan yang berlalu lalang. Sesampainya di taman kota, di tempat biasa Tasya bertemu Romi, Tasya tidak menemukan Romi. Tetapi tiba saja matanya tertuju pada semak-semak disebelahnya. Kakinya menginjak sesuatu, dan itu adalah kaki. Tasya menjerit histeris, melihat sosok yang tergeletak dalam semak yang nampak gelap. Tanpa pikir panjang, dia berlari meninggalkan tempat itu. 

“Ya, tolong bukakan pintu!” Tasya berteriak panik di depan pintu kost-an Tia. Tia membuksakan pintu dan Tasya langsung menghambur ke dalam. Dia menggigil, mukanya terlihat pucat.

“Kamu kenapa, Sya?” tanya Tia keheranan melihat sahabatnya ketakutan seperti itu. Tasya menceritakan semua yang dilihatnya di taman. Tia terkejut dan tidak mempercayai itu. Tia berusaha menenangkan sahabatnya. Hingga akhirnya dia tertidur. Alangkah terkejutnya Tia saat dia melihat, setangkai bunga mawar kertas berjatuhan dari saku jaket Tasya. Pikiran Tia menjadi kacau, bunga mawar kertas itu adalah jejak yang selalu ditinggalkan oleh pembunuh sahabat mereka. Mengapa Tasya memiliki sebanyak itu? 

Suara sirine mobil polisi terdengar mendekat. Tasya terbangun. Matanya langsung tertuju pada Tia yang sedang memegang mawar-mawar kertas. Matanya terlihat gugup. Belum sempat mereka berbincang, terdengar pintu kamar di ketuk. Tia bergegas membuka pintu. Dua orang berseragam lengkap telah berdiri di depan pintu. 

“Kalian berdua Kami tangkap, dengan dugaan pembunuhan atas orang yang berbeda.”
Tia dan Tasya pasrah menyerah, mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Di kantor polisi, Tia mengaku telah membunuh Rima juga Romi karena telah membuat sahabatnya Tasya bersedih. Sedang Tasya mengakui telah membunuh Ara, karena cemburu pada Tia yang selalu akrab dan melupakan dia pada saat dekat dengan Ara. Dan tentang mawar kertas itu, keduanya sama-sama memilikinya dengan motif yang sama. Sama-sama untuk mengalihkan perhatian.

TAMAT

Tidak ada komentar: