Matahari telah naik sepanjang galah, dan burung-burung telah
ramai berkicau menyambut pagi hari ini. Begitupula dengan Tia yang panik
mempersiapkan diri berangkat sekolah. Terlambat bangun adalah kebiasaan Tia
selepas hari libur.
“Tia, ayo berangkat!” teriakan temannya, Tasya yang sudah
menunggunya sejak tadi.
Tia lantas bergegas menyambar tas dan buku-buku besarnya.
Segera dia keluarkan sepeda dan menyimpan peralatannya di dalam keranjang
sepeda. Mereka berdua mulai mengayuh sambil sesekali terdengar canda tawa
keduanya.
Pada sebuah persimpangan jalan mereka terhenti karena
terhalang oleh kerumunan orang. Sepertinya baru saja terjadi kecelakaan. Merasa
sudah terlambat, mereka tidak turut melihat apa yang sedang terjadi.
Dilanjutkannya perjalanan menuju sekolah.
Jam pelajaran di mulai. Tia terlihat mengantuk dan
berulangkali dia menguap.
“Anak-anak, sekolah kita tengah berduka. Salah satu dari
teman kalian ada yang meninggal. Ara anak kelas IA. Jadi hari ini sepulang
sekolah kita bersama-sama takziyah ke rumah Ara,” pengumuman dari Bu Indah
membuat kantuk Tia mendadak hilang. Tia adalah seorang yang terkenal sangat
penakut.
Siang sangat terik, panasnya membakar kulit. Tia bersama
teman-teman juga para guru pergi takziyah ke rumah Ara. Ara adalah sahabat baru
Tia dan Tasya. Tetapi Ara lebih terlihat dekat dan akrab dengan Tasya. Mungkin
karena sifat Tasya yang ramah juga supel. Dan yang lebih mengejutkan lagi,
ternyata Ara meninggal karena di bunuh. Dari keterangan ibunya Ara, Ara dibunuh
dengan sadis. Pembunuh memukulnya dengan kayu hingga beberapa bagian tubuh Ara
remuk dan mengalami patah tulang, menurut hasil otopsi dari rumah sakit. Dan
pembunuh itu meninggalkan kayu yang dipakainya untuk membunuh Ara bersama
setangkai mawar dari kertas.
Dalam beberapa hari, peristiwa yang menimpa Ara tetap
menjadi misteri dan menjadi topik di kantin sekolah. Beberapa dugaan menjadi
mencuat, tetapi tetap tidak ada titik temunya.
“Hai Tia, Tasya ... boleh aku bergabung duduk disini?” kata
Rima sambil menaruh porsi makanannya di meja makan kantin. Tia dan Tasya
tersenyum. “Silakan, gak apa-apa kok. Ini kan tempat umum,” sahut Tia kemudian.
Rima tersenyum dan mengajak keduanya berbincang, bercanda bersama.
Sejak hari itu, Rima menjadi dekat dengan Tia dan Tasya.
Mereka selalu belajar bersama dan main bersama. Tasya adalah siswa teladan yang
prestasinya tidak diragukan lagi. Berbagai
lomba dia menangkan, sedang Tia siswa berprestasi dalam bidang olahraga.
Mereka adalah siswa kebanggaan sekolah. Rima sangat senang bersahabat bersama
mereka, selain mereka cerdas-cerdas keduanya juga ramah.
Hingga pertengkaran itu terjadi, semua menjadi berbeda. Rima
berselisih paham dengan Tasya masalah Romi. Romi adalah teman dekat Tasya yang
akhir-akhir ini dekat dengan Rima. Dan sepertinya Rima menyukai Romi. Itu yang
membuat Tasya gusar. Tia pun jadi sering jadi tumpahan amarah Tasya. Dan Tia
memahami itu, dia dengan sabar menemani dan memberi semangat pada Tasya.
Malam merayap hening, tetapi tidak dengan suasana yang
terjadi di taman kota. Sepulang dari tempat Tia, Tasya menemukan Romi sedang
duduk bersama Rima di taman. Kecemburuan Tasya kian memuncak. Pertengkaranpun
tidak dapat dielakkan. Tetapi bisa diredam kemudian oleh Romi yang mengajak
Rima pulang dan meninggalkan Tasya menangis sendiri di bangku taman malam itu.
Keesokan harinya sekolah Tasya gempar dengan berita kematian
Rima. Lagi-lagi tentang pembunuhan. Belum ada sebulan, sekolah dihebohkan
dengan kedua siswanya yang meninggal karena dibunuh.dan pembunuh itu
meninggalkan jejak yang sama dengan jejak yang ditinggalkan sewaktu membunuh
Ara. Kayu balok dan setangkai mawar kertas. Sedang kasus bergulir, belum
ditemukan siapa pelaku dari setiap kejadian itu. Tia dan Tasya yang baru saja
sampai di kelas mereka sontak terkejut. Mereka tidak percaya sahabat baru
mereka yang jadi sasaran pembunuhan lagi. Romi menuduh Tasyalah dalang dari
peristiwa yang menimpa Rima. Motifnya adalah cemburu dan dendam dengan kejadian
semalam. Tasya berontak dan menangis, dia tidak menyangka orang yang amat
disayanginya menuduh dia sekeji itu. Tia terus mendampingi Tasya dan
menghiburnya. Dia percaya Tasya tidak akan tega berbuat itu.
“Kamu masih menuduh aku pelaku pembunuhan Rima, Rom?” tanya
Tasya siang itu di kantin sekolah. Romi diam dan tidak memberi respon apa-apa.
Matanya tetap tertuju pada layar telepon ditangannya. Tak bergeming sedikitpun.
Rima merasa kecewa dengan sikap Romi yang menuduhnya seperti itu.
“Kalaupun kamu marah padaku tak apa, Rom. Mungkin aku memang
salah, tetapi aku bukanlah pembunuh,” terakhir kalinya Tasya memberi penjelasan
pada Romi yang masih saja diam tak berkata sepatah katapun. Tasya pergi
meninggalkan Romi sambil menahan tangis.
“Rom, kamu masih beranggapan Tasya yang membunuh Rima?” kata
Tia yang duduk menghampiri Romi selang beberapa menit kepergian Tasya.
“Sebenarnya aku juga nggak
menuduh langsung seperti itu. Aku hanya curiga karena semalam mereka habis
bertengkar hebat. Dan itu aku saksinya. Yah, hati orang mana kita tau sih,”
jawab Romi sinis. Tia tidak bisa berkata apa-apa mendengar jawaban Romi yang
yakin sekali jika Tasya adalah tersangka utama pembunuhan Rima.
Sore menjelang malam, Tasya yang masih bersedih dan putus
asa karena tuduhan itu masih menangis. Matanya sembab dan mukanya kusut. Hingga
satu nada dering ponselnya berbunyi, dia tetap tidak peduli. Ponsel berdering
berulang kali, memaksa Tasya menjawab telepon itu.
“Sya, maafkan aku ya. Aku sudah menuduhmu tanpa bukti dan
membuat kamu menangis. Aku terlalu dikuasai amarah sejak malam itu,” suara
parau di ujung sana membuat tangis Tasya menjadi.
“Aku ingin minta maaf secara langsung, temui aku di taman
kota seperti biasa. Aku menunggumu, Sya!” Romi berharap Tasya mau datang dan
memaafkannya.
Jalanan lengang, hanya satu dua saja kendaraan yang berlalu
lalang. Sesampainya di taman kota, di tempat biasa Tasya bertemu Romi, Tasya
tidak menemukan Romi. Tetapi tiba saja matanya tertuju pada semak-semak
disebelahnya. Kakinya menginjak sesuatu, dan itu adalah kaki. Tasya menjerit
histeris, melihat sosok yang tergeletak dalam semak yang nampak gelap. Tanpa
pikir panjang, dia berlari meninggalkan tempat itu.
“Ya, tolong bukakan pintu!” Tasya berteriak panik di depan pintu
kost-an Tia. Tia membuksakan pintu dan Tasya langsung menghambur ke dalam. Dia
menggigil, mukanya terlihat pucat.
“Kamu kenapa, Sya?” tanya Tia keheranan melihat sahabatnya
ketakutan seperti itu. Tasya menceritakan semua yang dilihatnya di taman. Tia
terkejut dan tidak mempercayai itu. Tia berusaha menenangkan sahabatnya. Hingga
akhirnya dia tertidur. Alangkah terkejutnya Tia saat dia melihat, setangkai
bunga mawar kertas berjatuhan dari saku jaket Tasya. Pikiran Tia menjadi kacau,
bunga mawar kertas itu adalah jejak yang selalu ditinggalkan oleh pembunuh
sahabat mereka. Mengapa Tasya memiliki sebanyak itu?
Suara sirine mobil polisi terdengar mendekat. Tasya terbangun.
Matanya langsung tertuju pada Tia yang sedang memegang mawar-mawar kertas.
Matanya terlihat gugup. Belum sempat mereka berbincang, terdengar pintu kamar
di ketuk. Tia bergegas membuka pintu. Dua orang berseragam lengkap telah
berdiri di depan pintu.
“Kalian berdua Kami tangkap, dengan dugaan pembunuhan atas
orang yang berbeda.”
Tia dan Tasya pasrah menyerah, mereka tidak bisa berbuat
apa-apa. Di kantor polisi, Tia mengaku telah membunuh Rima juga Romi karena
telah membuat sahabatnya Tasya bersedih. Sedang Tasya mengakui telah membunuh
Ara, karena cemburu pada Tia yang selalu akrab dan melupakan dia pada saat
dekat dengan Ara. Dan tentang mawar kertas itu, keduanya sama-sama memilikinya
dengan motif yang sama. Sama-sama untuk mengalihkan perhatian.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar