Dawai Hati

Dawai Hati
Rindu kamboja pada setangkai bias jingga senja dakam alunan denting dawai hati

Senin, 30 Juni 2014

AKU, MANTRA, DAN WAKTU



Teriak camar senja itu mengingatkan aku pada Riki. Dia adalah pacarku yang gemar sekali melukis suasana pantai saat senja. Beberapa lukisannya bahkan sudah banyak yang terjual. Dan aku selalu jadi orang nomor satu yang merasakan hasil dari jerih payahnya.

Waktu itu, tanggal 06 Agustus 2013.

“Na, hari ini lukisanku ada yang beli lagi. Kamu mau minta dibeliin apa?” Riki menggodaku dengan memamerkan uang di tangannya.

“Aku mau boneka beruang yang tingginya sama seperti aku. Segini ...” jawabku sambil mengangkat tanganku ke atas kepala. Riki tertawa dan mencoba menarik hidungku, tapi kalah gesit denganku yang telah beralari ke pelukannya. Dia mengusap rambutku. Aku bahagia mempunyai kekasih seperti Riki yang baik, romantis dan pengertian.
Jam lima kami pergi jalan-jalan ke Mall di daerah Daan Mogot. Aku langsung menarik tangan Riki, saat aku lihat ada toko boneka yang terlihat lengkap dan ramai pengunjung . Riki hanya diam saat tangannya aku tarik. Lama aku memilih, rasanya tak ada yang sreg di hati. Aku berniat mencari lagi di toko lain. Saat kaki baru melangkah hendak berbalik, mataku sekilas melihat ke sudut toko di antara tumpukan permainan puzzle. Sebuah boneka beruang yang sangat cantik. Seingatku ... tadi nggak ada boneka seperti itu. Padahal setiap rak dan penjuru toko tersebut sudah aku kelilingi.

“Kenapa, Na? Kok diam? Jadi nyari boneka lagi gak?” tegur Riki padaku yang bengong melihat sudut toko itu. Riki mengedarkan pandangannya, mencoba mencari apa yang menjadi pusat perhatianku.

“Oh, ini toh yang buat kamu tidak bisa berkata apa-apa. Terpesona?” ledek Riki sambil mengambil boneka yang aku pandangi itu. Aku hanya mengangguk dan menurut saja waktu Riki menarik aku ke kasir. Boneka beruang berwarna coklat dengan pita di lehernya. Lucu dan sangat menggemaskan. Setelah transaksi selesai, kami teruskan jalan-jalan kami di mall tersebut. Riki rupanya faham, jika aku sedang menehan lapar juga haus.

“Mau makan apa, Na? Pasti kamu lapar kan?” senggolnya padaku. Aku sedikit nyengir pamer gigi. Telunjukku reflek mengarah ke tempat makan tradisional. Aku semenjak tinggal di kota bernama Jakarta ini, memang masih mencintai masakan kampung.tak heran bila teman-teman kerjaku sering meledek aku jadul atau kampungan. Tetapi memang lidahku tidak bisa makan makanan seperti pizza, spagheti, atau burger. Dan Riki faham itu.
Sambil menunggu makanan datang, aku membuka tas yang berisi boneka yang dibelikan Riki. Aku pandangi boneka itu sambil sesekali aku mengelus bulu lembutnya. Saat aku mengelus bagian belakangnya, tanganku merasa menyentuh sesuatu yang berbeda. Seperti sebuah label. Pastilah setiap produk ada labelnya. Tapi tetap saja aku penasaran ingin melihat, boneka cantik ini buatan mana. Sementara Riki sibuk dengan ponselnya.

“Simente lazaxhie lumiaso”
Hanya tulisan itu yang aku lihat di label boneka itu. Seperti bahasa Itali, tetapi nggak bermakna.

“Rik, kamu tau arti tulisan ini?”
Riki melirik ke arah label yang aku tunjukkan padanya.

“Nggak, tuh. Kenapa emang kok tiba-tiba menanyakan arti tulisan label itu. Nggak penting juga kali, Na?” kata Riki kemudian. Entah kenapa rasa penasaranku semakin kuat. Saat makanan datang, aku berniat untuk menanyakan itu pada pelayan itu. Mungkin saja dia mengerti, seorang pelayan makanan di mall sebesar ini pastinya orang yang berpendidikan tinggi.

“Maaf, Ka. Kaka tau nggak apa arti tulisan ini?” kataku padanya. Dia tersenyum dan mengambil boneka beruang yang ada di tanganku. Kaki Riki tiba saja menyenggol kakiku.

“Iiih, apa-apaan sih kamu, Na? Menggangu orang saja,” kata Riki agak berbisik.
“Maaf, kalau boleh saya memberi saran, lebih baik boneka ini di tukar saja dengan boneka yang lain. Boneka ini tidak baik jika harus ikut ke rumah Adik. Takutnya ada yang membaca ini.”

Aku semakin penasaran saat pelayan itu memberi keterangan seperti itu.

“Emangnya kenapa, Ka. Kok kaka bilang seperti itu?” tanyaku padanya. Pelayan itu tersenyum dan memberitahukan padaku jika aku jangan membaca tulisan itu. Katanya, kalimat dalam label itu adalah mantra. Siapapun yang mendengar mantra itu dia akan hilang dan masuk ke dalam boneka tersebut. Boneka itu bukan benda mati yang biasa dipeluk dan diajak bermain sepertipada umumnya. Tetapi jika aku memang sangat menyukai boneka itu, maka saran dia suruh memotong label yang tertera di situ. Tetapi jika aku memotong label itu, jiwa-jiwa yang terkurung di dalamnya tak akan pernah kembali.

Riki yang mendengar itu, hanya tersenyum sambil menyantap makanan di depannya. Sempat rasa tidak percaya itu melintas di kepalaku, tetapi apa iya ada mantra seperti di jaman serba maju seperti saat ini. Jika virus komputer aku mungkin percaya karena nyata. Tapi ini mantra penghisap jiwa? Di luar nalarku. Setelah makanan habis, kami langsung menuju parkiran dan pulang. Sepanjang perjalanan aku dan Riki berdebat masalah mantra yang ada di bonekaku. Riki nggak percaya. Dan menantang aku untuk membacakannya di depanku nanti setibanya di rumah. Antara percaya dan tidak, rasa penasaranku semakin menjadi.

Setibanya di rumah, Riki menantang aku untuk mencoba mantra itu. Tak ada terlintas di benakku untuk mencoba mantra itu pada Si Manis, kucing kesayanganku. Aku keluarkan boneka itu dari tasnya. Riki terus saja tertawa meledek aku. Dia malah berkata dan bicara tentang wasiat dan warisan. Semakin jengkel dengan ledekannya, akhirnya aku baca juga kalimat dalam label itu.

“Simente lazaxhie lumiaso”
Aku baca dengan sedikit ragu kalimat tersebut. Tidak terjadi apa-apa. Riki masih ada di depanku. Dia terkekeh melihat aku yang terlihat ketakutan.

“Tuh, kan?! Apa kataku. Mana ada sih label boneka bermantra gaib. Lihat? Kamu melihat aku nggak, Na? Atau kamu nggak lihat aku? Oh, tidak! Aku hilang dari pandangan ... hahaha,” Riki terus meledek aku. Aku semakin jengkel. Tapi aku senang juga, coba kalau mantra itu beneran bisa menghisap jiwa, aku akan kehilangan Riki pacar terbaikku. Aku tersenyum sendiri dan semakin Riki meledek aku. Kami pun tertawa dan bercanda. Dan tanpa sengaja saat Riki bermain dengan Si Manis, kucingku, aku iseng membaca mantra tersebut dengan mengarahkan ujung sapu injuk punya Mama ke arah Riki. Aku membacanya memakai logat seperti Harry Potter. Dan tiba saja ada kabut putih tipis menyelimuti Riki dan kucingku. Semenit kemudian, mereka hilang. Tak berbekas. Aku mencari mereka sekeliling rumah, tapi nihil. Riki dan kucingku benar-benar telah terhisap oleh boneka itu. Aku menangis sambil teriak-teriak memanggil Riki, tetapi tak ada jawaban apapun. Aku bingung. Dan hingga sekarang, aku tidak pernah menemukan Riki beserta kucingku. Meski berbagai cara telah aku perbuat, dengan berkonsultasi dengan sejumlah paranormal juga dukun tradisional.


Boneka itu aku simpan di lemari pakaianku, sejak  kejadian setahun yang lalu. Aku takut bila Rasya adikku membaca label itu atau siapapun yang memegangnya. Dan aku percaya Riki pasti akan kembali lagi, meski aku sendiri tidak tahu dengan cara apa aku mengeluarkannya dari dalam boneka tersebut.
Aku masih berjalan menyusuri pantai dan masih menikmati suara camar yang berteriak-teriak memanggil anak-anaknya untuk pulang. Aku mengambil patahan ranting kering yang tergeletak di depanku, aku mengukir nama Riki disana. Pada goresan terakhir, rantingku patah menabrak sesuatu di dalam pasir. Aku mengoreknya dengan kakiku. Sebuah kalung berliontin batu berwarna biru tua. Sangat indah. Aku mengambilnya dan membawa pulang. Setibanya di rumah, aku kalungkan kalung itu di leher boneka beruangku. Aku persembahkan untuk Riki yang ada di dalam sana. Sungguh ajaib!
Boneka itu hidup dan bisa bergerak. Dia berputar sebelum akhirnya terdengar suara ledakan kecil dan asap mengepul menyelimutinya. Berbagai cahaya berwarna-warnipun memenuhi ruangan kamarku. Lama sekali cahaya-cahaya itu berputar di antara asap putih yang lama kelamaan menghilang. Dan ... sejumlah orang berdiri di depanku, termasuk Riki dan kucingku Si Manis. Tangisku pecah seketika melihat mereka. Aku berlari memeluk Riki yang masih seperti orang kebingungan.

“Rik, kamu tidak apa-apa kan? Maafkan aku yang telah menyengsarakan kamu di sana.” Aku masih tersedu dan Riki masih saja terdiam. Dia tidak membalas pelukanku, tatapan matanya kosong. Begitu juga dengan lima orang yang ada bersamanya. Pun tak terkecuali Si Manis.

“Hai, Rik! Gimana keadaanmu saat ini sayang?” tanyaku siangku itu pada Riki yang sedang duduk di taman sendiri. Sudah enam bulan Riki di Rumah Sakit Jiwa. Riki hanya tersenyum melihat aku datang. Sampai saat ini Riki belum bisa dimintai keterangan apapun tentang apa yang terjadi di sana. Di dalam boneka yang mengurung dia hampir satu tahun. Dan aku percaya, Riki akan sembuh dan kembali seperti dulu lagi.
“Aku baik, Na”

--TAMAT--

Tidak ada komentar: