Dawai Hati

Dawai Hati
Rindu kamboja pada setangkai bias jingga senja dakam alunan denting dawai hati

Rabu, 23 April 2014

MAAF



Hans, maafkan aku. Terpaksa aku harus matikan telepon darimu, siang tadi. Aku sudah lelah, Hans... Aku menangis sambil memeluk guling yang sudah lusuh, sambil aku buka-buka kembali pesan darimu. Tiga belas pesan belum satupun yang aku balas. Siang tadi kamu tidak seperti biasanya. Tidak ada canda ataupun kata sayang yang biasa mengiringi setiap pembicaraanmu padaku. Seperti biasa, aku tidak pernah peduli dengan ketidakacuhanmu yang sering datang tiba-tiba. Aku masih berceloteh riang, bercerita tentang puisi-puisi, tentang pagi tanpa mentari, juga tentang jingga yang masih jauh dari masa. Kamu masih saja diam, dan aku tahu kamu sedang berselancar di duniamu. Dunia maya.
Aku tau, Hans. Karena telingaku bisa menangkap suara tak tik tuk dari keypad telepon selulermu. Dan aku juga lihat, kamu aktif komentar disana-sini.
Apa aku kamu anggap sebagai radio rusak yang temanimu bersenandung saat asyikmu berselancar? Oh, Hans... Aku sudah tidak sanggup. Kenapa tidak kamu matikan saja telepon dariku, atau kita sudahi saja hubungan ini? Aku rasa kamu sudah tidak peduli lagi tentang hal itu. Dan hanya menyiksaku dalam ketidakacuhanmu.
Maafkan aku Hans, bila aku yang harus mengakhiri semua ini. Bukan karena aku tidak sayang atau cinta lagi, tapi karena itu juga aku akhiri hubungan kita, Aku tidak ingin mengikatmu, aku juga tidak ingin kamu terbebani oleh setiap celotehku yang mungkin membuatmu bosan.
Maafkan aku, Hans.

Sambil mewek gigitin sarung guling dan berguling-guling...

DDH, 23042014