Dawai Hati

Dawai Hati
Rindu kamboja pada setangkai bias jingga senja dakam alunan denting dawai hati

Rabu, 25 Desember 2013

NOVEMBER RAIN





“Zahraaaaaa......dimana dirimu?”, teriak perempuan separuh baya keluar dari sebuah rumah sambil memegang sapu di tangannya.

“iya bu...zahra disini. Maafkan Zahra bu, zahra tidak sengaja. Hanya bercanda tadi itu”, keluar anak berusia 10 tahun itu dari balik pintu sambil merajuk. Wajahnya memelas berharap sang ibu tidak menghukumnya. Wanita itu pun meluluh melihat raut polos anaknya seraya menurunkan sapu dan menghampirinya. “baiklah ibu tidak akan memukul Zahra, tapi ibu tetap akan menghukummu dengan cara yang lain”, tegas ibu di hadapan Zahra. Anak itu nampak senang sambil memeluk ibunya, “tapi gantinya zahra harus menghapal juz 30 semuanya. Hari minggu ibu mau dengar!”, tandas ibunya sambil tersenyum menantang.

“iiiiihhh....ibuuuuu, ini kan hari rabu. Masa ibu beri waktu zahra Cuma 3 hari sih. Ibu jahat!”, protesnya sambil cemberut. Tapi sang ibu malah meninggalkannya seraya memberi isyarat perintahnya tidak bisa di ganggu gugat. Ara memang selalu tegas pada putri semata wayangnya itu. Tak pernah dia memanjakan putrinya dengan barang-barang mewah meskipun sebenarnya dia sanggup membelikannya. Berulang kali zahra merajuk minta di belikan telepon genggam, tapi Ara tak pernah mengabulkannya. Dia lebih suka putrinya itu membaca kitab yang telah dia koleksi sewaktu muda dulu. Ara berencana memasukkan putrinya ke pesantren, dan Zahra pun tak keberatan dengan keinginan ibunya itu. Zahra amat menyayangi ibunya meski Ara selalu menghukumnya dengan hafalan qur’an yang menyita waktu bermainnya. Tapi dia sadar, apa yang diperbuat sang ibu adalah buat kebaikannya juga.


Suatu sore selepas ashar, hujan deras mengguyur persada. Petir pun bersahutan seperti cemeti menyala menghias kanvas langit. Ara duduk di ruang tamu dengan sebuah buku di tangannya. Serius dia membaca buku setebal 10 cm itu. Tiba-tiba air matanya meleleh membasahi lekuk pipi putih yang nampak sedikit garis-garis penanda usia yang tak muda lagi. Matanya menerawang keluar menerobos kaca jendela dan berbaur dengan rinai hujan di luar sana. “abi, kenapa tiba-tiba aku teringat padamu. Bagaimanakah keadaanmu sekarang? Sudah punya anak berapakah. Mungkin kau sudah tak ingat aku lagi”, lirih dalam hatinya dia bercakap sendiri. Pikirannya melayang kembali ke 10 tahun lalu. Abi adalah panggilan kepada orang yang telah mengisi hatinya dulu, dan rasa itu tetap bersemayam hingga saat ini meski 10 tahun telah berlalu.

“doooorr.....! hayooo ibu kenapa kok menangis sih. Zahra sudah buat ibu sedih ya?”, ucap gadis kecil itu memeluk Ara yang sempat terkejut dengan kedatangan anaknya itu.
“gak kok sayang, ibu hanya sedang teringat sesuatu saja. Zahra anak ibu yang paling baiiiikkk”, jawab Ara sambil mencubit hidung mungil zahra. “bu, ayah kok belum pulang ya?”, tanya Zahra seraya mengambil buku di pangkuan ibunya.
“iya sayang, mungkin ayahmu kehujanan dan sedang berteduh jadi agak lambat pulangnya”,sahut Ara melirik jam dinding yang telah menunjukkan pukul 17.00 WIB. “iya, biasanya sebelum ashar udah pulang”, fikir Ara dalam hati.
“bu, ini buku apa? Tebal sekali”, tanya Zahra membuka-buka buku ibunya
“itu buku antologi sayang, kumpulan puisi-puisi”, terang Ara kemudian. Memang sejak peristiwa itu dulu, Ara lebih sering habiskan waktunya untuk menulis. Dia ikuti berbagai lomba grup di jejaring sosial dengan identitas baru. Dia tinggalkan akun yang banyak menyimpan kenangan masa lalunya. Dan bersama grup dan page yang diikutinya, dia turut andil merilis buku antologi. Meski tidak di perjualbelikan, setidaknya hasil karya dan luahan perasaannya tertuang di sana semua. Yah... buku yang menjadi saksi bisu atas semua rasa yang peernah ada pada masanya.
“ibu, apakah nama ibu ada di sini? Tapi kok Zahra tak menemukan nama ibu”, tanya anak itu membuka-buka tiap halaman buku.
“ada sayang, ibu menggunakan nama samaran atau nama pena. Coba cari yang dawai hati atau denting dawai hati, itu ibu nak”, jawab Ara memeluk bahu anaknya dan membantu mencarikan. “ibu pintar menyusun kata ya. Kirain ibu hanya pinter mengaji saja, hehehehe...”, goda Zahra dengan kata setengah tak percaya jika ibu yang tegas, dan bawel itu bisa
juga menyusun bait-bait kata yang indah. Ara hanya tersenyum mendengar celoteh anak kesayangannya itu. Ketika mereka sedang asyik bercanda tiba-tiba terdengar suara klakson motor dari luar sana.
 Tiiiiint...tiiiint....”iya sebentar”, teriak Ara beranjak dari tempat duduknya. Dia langsung membuka pintu dan menarik gerbang pagar rumah. Sesosok pria langsung masuk dan menyandarkan motor di teras rumah. “kok lambat pulangnya, yah?”, tanya Ara sambil mencium tangan pria itu dan membawa helmnya masuk ke dalam. “iya, tadi ada masalah di pekerjaan terus hujan juga. Zahra kemana,bu?”, sahut pria yang tak lain suami Ara itu.
. “ayaaaaaaaahh......kok baru pulang siiih. Zahra kan kangen”, teriak Zahra sambil berlari menghampiri ayahnya. Rahman tersenyum langsung menggendong putrinya dan diajaknya duduk di ruang keluarga. Mereka bercengkrama sesekali tawa lepas terdengar hingga luar rumah. “nih tehnya, yah. Ayah mau makan?”, Ara menyodorkan segelas teh hangat dan duduk bersama mereka. “gak, nanti saja lah. Masih kenyang”, jawab Rahman singkat dan kembali bercanda bersama putrinya.


Pagi sekali Ara sudah terbangun dan sibuk di dapur juga di kamar mandi. Karena hari ini Ara akan membawa putrinya ke pesantren. Kali ini Rahman tidak bisa mendampingi karena pekerjaan yang tidak bisa dia tinggalkan. “maaf,bu ayah gak bisa ikut nganter ke pesantren. Pokoknya semua ayah serahin ke ibu saja gimana baiknya”, kata Rahman sambil menyantap sarapannya dan bersiap hendak berangkat kerja. “iya gak pa pa kok, nanti ibu usahakan beres hari ini”, sahut Ara meyakinkan suaminya. Setelah mengantar Rahman hingga gerbang, Ara masuk dan mempersiapkan kepergiaannya. “zahraaaa.... ayo nak bersiap, nanti keburu siang sayang”, teriak Ara sambil menyusun semua barang yang akan di bawanya dalam perjalanan. Zahra keluar kamar dengan raut wajah murung. Dia duduk di meja makan tanpa semangat.
“eh, putri ibu ini kenapa kok nampak murung?”, sapa Ara melihat anaknya bersedih.
“ibu, Zahra gak mau berpisah dari ibu. Zahra pasti nanti akan merindukan ayah dan ibu, Zahra sedih ibu”, kata zahra lirih dengan mata berkaca-kaca.
“Zahra putri ibu yang cantik, ibu akan rutin menengok zahra nanti. Ibu juga sedih berpisah dengan zahra, tapi ini kan buat kebaikanmu sayang. Kan kita gak berpisah lama. Nanti kalau ibu kangen ya ibu akan datang bersama ayah. Zahra kan bisa telepon ibu nanti”, kata Ara mencoba meyakinkan anaknya itu. Tapi Zahra malah menangis terisak dan memeluk Ara. “niih.. ibu belikan Zahra handphone. Bukannya Zahra ingin punya handphone? Ibu belikan buat Zahra telepon ibu nanti kalau kangen”, rayu Ara sambi menyodorkan sebuah handphone. Tapi Zahra tetap tak bergeming. Akhirnya dengan berbagai bujuk rayunya, Ara berhasil membuat Zahra tersenyum dan bersedia pergi bersamanya. Sepanjang perjalanan, Zahra tak henti-hentinya bercerita dan mengajak bercanda ibunya. Menjelang waktu ashar, tiba lah mereka di tempat yang di tuju.

“assalamualaikum.....”, di depan pintu sebuah rumah Ara berdiri dan mengucap salam.
“waalaikumsalam... ooh ibu Ara ya? Mari bu silakan masuk”, sapa seorang wanita berparas sederhana dan berbusana rapi itu keluar dari dalam rumah. Ara tersenyum dan mereka saling bersalaman. Ara masuk diiringi putri kecilnya dan duduk di beranda rumah tersebut.
“ini ya putri yang ibu ceritakan kemarin, cantiknya”, sapa wanita tersebut sambil mengelus-elus kepala Zahra yang terbalut kerudung. Mereka pun
berbincang sambil sesekali terdengar tawa ringan diantara ketiganya. Kebetulan pak kyai nya hari ini sedang ada acara ke luar kota, jadi Ara hanya bertemu istrinya saja. Setelah semuanya selesai, Ara pun berpamitan. “bu nyai, saya titip anak saya ini. Tolong di beri arahan kepadanya, dia anaknya nurut kok tak pernah membantah. Tapi kalo dia nakal, hukum saja bu nyai”, kata Ara waktu hendak berpamitan sambil melirik putrinya yang sudah berkaca-kaca itu. “iya bu, saya akan berusaha biar putri cantik ini bisa berprestasi baik untuk dunia dan akhiratnya. Semoga dan doa kan saja biar Zahra betah dan jadi santri teladan bagi diri, tema dan masyarakat umumnya”, jawab bu nyai yang mengasuh pesantren itu. Ara memeluk dan menciumi putri kesayangannya sebelum dia berlalu kembali pulang. Jarak pesantren ke rumahnya nggak terlalu jauh, hingga kapanpun dia rindu putrinya dia bisa datang, itu yang buat Ara berani memutuskan untuk memasukkan putrinya ke pesantren itu. Dalam perjalanan pulang, Ara mengalami musibah. Bus yang ditumpanginya oleng hingga menabrak pembatas jalan, beruntung Ara tidak terluka berat meski agak sedikit shock dengan kejadian itu. Dia keluar dari dalam bus dan bergabung dengan penumpang lainnya berkerumun di bawah pohon di tepi jalan. Tiba-tiba seorang pria menghampiri sambil menyodorkan sebotol air mineral. Ara yang tertunduk sambil memegang kaki yang terluka itu mengambil uluran botol air dan meminumnya. “terimakasih, pak” ucapnya kemudian. “ibu tidak apa-apa kan?”, tanya pria itu seperti ingin tahu keadaannya. Dia pun menanyai penumpang lainnya sambil memberikan minuman juga. “gak apa-apa kok hanya lecet dan agak terkilir kaki saya”, sahut Ara masih memegang tungkai kakinya yang terkilir. “rumah ibu masih jauh? Mari bu biar saya antar. Saya membawa mobil pribadi”, tawar pria itu melihat Ara yang kesakitan. Sekilas Ara memandang ke arah pria itu, “ wajah dan suaranya tidak asing. Seperti akrab di telingaku, tapi siapa ya?”, batin Ara sesaat. Pria itu meninggalkan Ara dan menghampiri korban lainnya dan menawarkan hal serupa. Akhirnya mereka yang tak bisa berjalan dan rumahnya searah ikut bersama pria tersebut termassuk Ara. Di dalam mobil, Ara sesekali melihat ke arah pria itu melalui kaca spion dalam mobil. Karena penasaran dia pun beranikan diri untuk bertanya.
“maaf, bapak ini sebenarnya mau kemana kok jadi merepotkan mengantar kami semua ini”, tanya Ara membuka perbicaraan.
“ooh.. saya mau ke pesantren menjenguk putra saya. Tapi kasihan melihat ibu-ibu ini terlantar di jalan, mana hari sudah mulai gelap. Kendaraanpun jarang yang lewat sini”, jawabnya ramah sambil tersenyum tipis. ” Ibu memangnya dari mana kok sendirian saja”, timpalnya kemudian.
“saya baru saja pulang dari pesantren habis menitipkan anak saya di sana. Apa putra bapak belajar di pesantrennya Kyai Mahfud?”, tanyaku padanya
“iya bu...oh kebetulan dong ya, apa pak kyai ada di rumahnya tadi bu?”, sahutnya. Mereka terus berbincang seputar pesantren dan pak kyai yang mengasuh ponpes tersebut, hingga akhirnya sampailah Ara di depan gang menuju rumahnya.
“terimakasih, pak sudah menolong dan mengantarkan saya sampai rumah”, Ara langsung turun dan mengucap salam pada pria penolong dan korban lainnya yang masih tersisa. “ibu yakin bisa jalan sendiri? Apa perlu saya panggilkan suami ibu untuk membantu ibu berjalan”, tawarnya mencemaskan keadaan kaki Ara yang terkilir. “gak apa-apa pak, rumah saya sudah dekat. Ini juga sudah gak terlalu sakit, terima kasih sekali lagi pak, semoga Allah membalas kebaikan bapak”, sahut Ara kemudian. Pria itu pun pamit dan pergi mengantar penumpang lainnya. “siapa ya... benar-benar tak asing muka dan suaranya. Tapi siapa dia”, pikir Ara sambil berjalan menuju rumah dengan kaki agak pincang. Sepanjang jalan banyak tetangganya yang bertanya ada apa dengan kakinya. Ara hanya tersenyum tak banyak menjawab, maklum Ara buka orang yang suka berlama-lama ngobrol di jalanan bersama tetangga lainnya. Kesehariaannya mengurus rumah dan sesekali membuat karya tulis yang kadang masih dia ikutkan dalam lomba di penerbit-penerbit buku. Walau jarang menang tapi dia puas karena bisa menyalurkan inspirasi dan hobbynya di situ.


“yah, ibu rasa ibu kangen sama Zahra. Apa gak sebaiknya kita tengok anak itu, ini sudah 2 minggu dia disana”, kata Ara pada suaminya suatu malam menjelang tidur. “iya ayah juga merasa kangen sama
celotehannya. Hari minggu saja kita kesana”, sahut Rahman sambil membetulkan posisi tidurnya.
Sementara itu di pesantren Zahra sudah mulai bisa bergaul dan menyesuaikan diri dengan teman-teman barunya. Zahra memang menurun sifat ibunya yang supel dan pandai bergaul, dan dia pun tidak manja seperti anak tunggal lainnya. Mungkin karena Ara mendidiknya dengan tegas atau memang watak dia yang sudah tercetak seperti itu.
“zahra, kamu sudah berapa lama disini?”, tanya seorang anak lelaki sebayanya pada acara gotong royong membersihkan taman pondok.
“dua minggu”, jawabnya singkat dan terkesan tak acuh dengan pertanyaan itu.
“rumah kamu jauh dari sini?”, tanya anak lelaki itu tak peduli dengan sikap cuek Zahra.
“deket”, sahut Zahra masih tak acuh
“hmmmmg....enak ya rumah kamu dekat, kapanpun orang tua kamu rindu atau kamu merindukan mereka, kalian bisa langsung ketemu”, keluh pemuda kecil itu sesaat seraya menyandarkan badannya di tembok pondok.
“emangnya kamu tinggal dimana, Hafidz?”, akhirnya Zahra merespon karena kasihan melihat pemuda bernama Hafidz tersebut.
“rumahku di Medan”, sahutnya berat terasa.
“emangnya di Medan gak ada pesantren kok bisa sampai sini”, tanya Zahra asal.
“banyak.... tau tuh bapak maunya aku mondok disini, katanya sih karena dia sudah dekat dengan pak kyai. Pak kyai itu kan teman akrab bapakku”, jelas Hafidz bangga.
“siapa juga yang nanya bapakmu, weeeew!....”, ledek Zahra sambil pergi meninggalkan Hafidz yang kelihatan kesal dengan jawaban gadis kecil itu.
“zahraaaaa.....sini nak, ada ayah dan ibumu tuh datang menjenguk”, panggil bu nyai pada Zahra. Senyum ceria mengembang dari bibir gadis mungil itu. Dia pun berlari menghambur menuju rumah bu nyai dan menemui kedua orang tuanya. Dia berceloteh sambil duduk di pangkuan sang ayah melepas kerinduan mereka.
Setengah tahun sudah Zahra berada di pondok, “sekarang bulan november ya, yah? Berarti sebentar lagi Zahra akan pulang untuk liburan. Ayah mau ikut menjemput Zahra minggu depan?, tanya Ara sambil membuka-buka kalender di dinding kamarnya.
“kalau hari rabu ya gak bisa,bu. Ayah kan kerja. Ibu sendiri gak apa-apa kan?”, sahut Rahman yang sedang menonton televisi.
“ya sudah, gak apa-apa. Lagi pula juga gak banyak barang bawaannya kok”, ucapnya kemudian.
Tiba saatnya Ara menjemput putri cantiknya. Seperti biasa dia naiki bus untuk sampai disana. Tapi hari itu cuaca kurang bersahabat, hujan dari subuh tadi hingga siang belum juga reda. Yah musim penghujan memang sudah datang dari akhir bulan oktober kemarin. Setibanya di pesantren, Ara tidak langsung masuk, dia berhenti di swalayan depan pesantren. Berniat membeli bingkisan kecil untuk bu nyai pengasuh ponpes.
“maaf, ini ibu yang dulu saya pernah antar karena kecelakaan itu kan?”, sapa seorang pria yang tiba-tiba ada di samping Ara.
“oh, iya pak. Bapaak?, jawab Ara masih terbata kaget.
“maaf sudah membuat ibu terkejut. Apa ibu mau menjemput anak ibu?, sahutnya kemudian.
“iya, pak. Bapak juga mau jemput kan?, tanya Ara seakan bingung mau jawab apa. Dia tak menyangka bertemu penolongnya dulu di sini.
“istrinya gak ikut, pak?” tanya Ara kemudian
“istri saya sedang hamil, jadi gak bisa perjalanan jauh”, jawabnya sambil tersenyum.
“oh... mari pak, saya sudah selesai belanjanya”, pamit Ara seraya menjinjing keranjang bawaannya. Tiba-tiba hatinya bergetar. Dia merasa aneh, kenapa bisa seperti itu.. dan pria itu menyusul ke meja kasir, sedang Ara belum selesai transaksi. Dia tersenyum dan merapikan belanjaannya di meja. “kenapa jantungku berdegub kencang begini? Siapa dia”, hati Ara gak karuan hingga akhir dia meninggalkan kasir dan berpamitan padanya.
“Ara, apakah itu dirimu?”, batin pria itu sambil memandang kepergiaan Ara. “aku sangat kenal suara dan gaya bicaramu. Juga raut mukamu itu, meski kini sudah tak muda lagi. Lalu, kemana suamimu?”, fikirnya pun turut berkecamuk tiba-tiba.
Sementara di beranda rumah pak kyai Ara sedang berbincang bersama bu nyai dan Zahra yang nampak bahagia menyambut liburan kali ini.

“assalamualaikum....”, sapa seorang tamu di luar sana
“waalaikumsalam...oh pak Syahrun, silakan masuk pak. Pak kyai ada di dalam, silakan masuk saja. Pak kyai sudah menunggu”, jawab bu nyai seketika membuat badan Ara melemas, seakan rontok semua tulang dan berhenti jantungnya berdegub. Dia tidak berani menengok, di peluknya Zahra erat.
“abi?”, bisiknya lirih. Bibirnya gemetar kemudian, sekujur tubuhnya dingin.
“oh..ibu juga ada di sini?”, tegur pria bernama Syahrun itu kepada Ara yang masih diam mematung. Entah kenapa bulir bening di sudut netranya kian mengumpul diantara detak jantung yang kian kacau.
“bu Ara, ini adalah pak Syahrun. Bapak dari Hafidz Yazid yang menolong ibu tadi. Monggo,pak.. langsung masuk aja”, kata bu nyai kemudian.
“mari bu, saya ke dalam dulu. Ini putrinya ya cantik sekali. Siapa namamu,nak?”, tanya Syahrun pada Zahra. “Zahra Auliya Nissa,om”,jawab Zahra polos. “nama yang bagus, sayang”, Syahrun tersenyum dan mengelus kepala Zahra. Sementara Ara masih terdiam hingga Syahrun meninggalkan mereka.
“benarkah itu dirimu, abi? Sudah lupakah kau dengan nama Zahra. Lalu kenapa anakmu juga di beri nama hafidz?”,pikiran Ara jadi kacau. Tak mau bu nyai menangkap gelagat anehnya, Ara langsung pamit pulang. Dalam hati masih mengambang, antara percaya dan tidak.
Hampir setengah jam Ara dan putrinya berada di halte, tapi bus yang di nanti belum juga datang. Hingga akhirnya sebuah Avanza berhenti di depannya. Ara tak acuhkan mobil itu, hingga keluarlah Syahrun dari dalamnya.
“Ara, masuklah. Sebentar lagi mau hujan”, ajak Syahrun padanya. Ara terkejut pria itu memanggil namanya langsung.
“terimakasih, pak. Sebentar lagi bus nya juga lewat. Silakan duluan”, jawab Ara berat. Seakan ada sebongkah batu besar yang menyumbat tenggorokannya. Syahrun menghampiri dan duduk di halte sambil menghela nafas. “Ara, aku tau itu kamu sejak kita bertemu dulu waktu kecelakaan bus itu.”, ucap Syahrun membuka pembicaraan. Ara masih berdiri membelakangi tak menjawab. “maafkan aku umi”, katanya mendadak sedih. “maaf pak, mungkin bapak salah orang. Saya bukan Ara yang bapak maksud”, jawab Ara kian terbata sesak. Sementara Zahra main game di handphonenya bersama Hafidz. Hujan pun akhirnya turun, deras sekali. Bus yang di nanti tak kunjung terlihat. Sementara bisu masih merajai suasana senja itu. Mereka asyik dengan khayal dan pikirannya masing-masing.
“Ara, mungkin iya aku telah salah orang. Tapi hatiku tak pernah berbohong. Aku yakin ini kamu. Bagaimana
keadaanmu sekarang”, tanya Syahrun semakin yakin dengan kediam dirian wanita itu. “maaf pak, kami pulang dulu. Naik taksi aja karena hari sudah gelap”, pamit Ara kemudian seraya memberhentikan sebuah taksi. Ara dan putrinya meninggalkan Syahrun yang masih terduduk di halte.
“Ara, akhirnya aku bisa melihatmu nyata. Meski kini dengan situasi yang berbeda. Hujan di penghujung senja ini terulang kembali. Memutar waktu ke november 10 tahun lalu, saat dirinya meninggalkan Ara dalam ketidakpastian. Bahkan panggilan telepon Ara pun dia tak berani untuk menjawabnya. Tapi kini dia telah bahagia dengan istrinya yang akan memberi anak ke dua padanya. Dan Ara pun telah berhasil mempertahankan biduk rumah tangganya yang sempat goyah karena cintanya pada Syahrun.
“Andai saja kita bisa berbincang, sebagai seorang teman......”, batin syahrun meninggalkan halte dan mulai melaju pulang. Hujan kian deras, sederas tangis Ara yang tak terhenti sepanjang perjalanan. Sementara putrinya tertidur pulas di pangkuannya.
“abi, bukan aku melupakanmu, tapi aku hanya takut tak bisa mengendalikan perasaanku padamu. Aku sudah cukup puas hari ini, terwujud sudah harapanku untuk bisa melihat wajahmu secara nyata”, kata Ara dalam hati. Taksipun kian kencang melaju meninggalkan jejak kenangan silam di antara Syahrun dan Ara. Entah apa yang kan terjadi esok, hanya Tuhan yang tau dan taqdir yang berbicara.


__________________SELESAI____________________

Pesan cerita:
- Cinta bisa memotivasi dan menyisakan kenangan yang tiada terlupakan meski waktu kian berjalan puluhan tahun
- Didiklah aanak dengan akhlaq hingga tercipta generasi yang taqwa
- Jangan memanjakan anak, karena itu bisa menjadi bumerang buat orang tua dan anak itu sendiri.
Tentang penulis:
Lahir dari lingkungan keluarga yang sederhana, erna memulai kesukaan menulis dari sejak dia sekolah menengah pertama. Sosoknya yang pendiam menjadikan tulisan adalah teman karibnya, tempat dia tumpahkan segala rasa yang dia punya.

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Zahra auliya,, kata nya diri mu Buuuuu,, kok kecil 10 tahun gkgkgkgk

Atau yg ara nya nih
Penasaran syahrun nya kaya apa,, sampai membuat mu kaya begini gkgkgkgk

Unknown mengatakan...

just fiksion dear