Hujan masih deras, saat kau datang mengetuk pintu hatiku.
"sayang, aku pamit", katamu tertunduk mematung di depan pintu hati. Seakan lepas semua engsel-engsel sanubariku, saat ketukan nada pembuka dan terakhir itu mengukuhkan prasasti perpisahan.
"kenapa, A?", aku masih belum mengerti.
"jangan tanya kenapa, sayang, aku selalu mencintaimu. Tak lekang seperti edelweis di lereng Semeru sana, meski memucat dan terhempas sang bayu, dia tetap mekar tak pernah layu. Percayalah...", katamu begitu lancar tanpa sendatan apapun. Mengalir tanpa beban.
Ah, A.... tetap saja aku tak terima. Aku belum bisa, bahkan tidak bisa untuk sebuah kata perpisahan. Apalagi memutuskan benang yang lama terikat antara daun pintu hatimu dan aku.
Praaaaakkkk!!!
Sebuah guci di pojok ruang tamu tiba-tiba saja pecah. Aku bergegas kesana, tanpa 'ku hiraukan kamu yang masih mematung di hatiku.
"ya Tuhaaann....guci kesayanganku lantak sudah", teriakku tertahan teringat waktu menunjukkan angka keramat, 00.00 WIB.
"Cha! ada telepon sayang, untukmu", suara bi Inah memecahkan celoteh ilusiku hingga melewati titik.
Aku bergegas mendapati telepon yang menggangtung di atas meja kerja Ayah.
"dasar bi Inah, ceroboh!", gerutuku menyambung menyamai bahasa petasannya pengantin sunat.
Belum sempat aku memberi salam....
" i love you, honey....forever", indah, romantis tapi misteri.
Tuuutt...tuuut....
Telepon pun terputus sambungannya. 'Ku sejenak sekan mati suri. Otakku beku, jiwaku seakan sengketa dengan rumahnya.
"A!!!....iya itu kamu A. Kenapa dimatikan saat satu katupan bibirpun belum terucap sepatah bahkan satu huruf alphabetpun untukmu", gumamku terjaga ketika sepercik air hujan itu menyentuh hidungku yang mungil (kata orang sih).
Tok! tok! tok!....
Suara ketukan itu seakan mengiris hati selayak sembilu.
Bergegas setengah berlari aku langkahkan kaki menuju pintu depan.
"yaaaa???", tanyaku tiba sumbang, seperti kaset kusut di pertengahan lagu. Tak ada siapapun! Hanya seikat edelweis dan sekuntum maear putih, tergeletak didepan pintu. Tanpa nama pengirim.
Aku masuk kembali sambil membawa bunga mawar dan edelweis itu dalam pelukan.
Hangaatt... ada debar terasa. Seakan aku sedang memelukmu, A.
Hingga di putaran waktu ketika embun terjaga dan melahirkan kesuciannya, aku masih memeluknya dalam tidurku.
Sementara di Jalan Pemuda, orang berkerumun ramai. Darah tercecer hingga bahu jalan, dan seorang pemuda tergelatak meregang nyawa di bawah derasnya hujan, di tengah kerumunan orang-orang.
DDH, 30032014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar