Dawai Hati

Dawai Hati
Rindu kamboja pada setangkai bias jingga senja dakam alunan denting dawai hati

Minggu, 16 Februari 2014

CERITA PAGI



Semburat perak terobos celah-celah kamar berlubang besar. Dulunya, termakan mandor-mandor berperut karung goni. geliat tubuh rasai panas, kian menampar pelan wajah malas berpeluk mimpi semalam. Mungkin bermimpi tentang juwitanya yang kembali pulang, setelah lama terpinang sengketa. Atau mimpi tentang pembagian nasi-nasi perang yang katanya nikmat, saat perut lama tak ada tetamu yang mengoyak pingkalan.

Ah! lagi-lagi derita minoritas.

Tersungkur di rumah-rumah kardus tepian rel kereta yang selalu bergoyang, kala ular besi itu melintas. Sinis dengan raungan sombong, pamerkan gigi-gigi aus.

"awas kau! bila hujan esok menyapaku dengan ribuan dollar, kan ku beli semua perangkat tempat nyawamu bermahkota!", teriakku selalu pada ular besi hitam itu ketika melintasi rumah kardusku yang bergoyang YKS, paksa netra merah ini membuka meski terasa perih.

Lorong jalanan masih tidur, tak ada seorangpun melintas sekedar melempar 500an rupiah. Sekedar untuk ku tukar sepotong roti, yang nikmatnya tak terkata. Nikmat sih kataku, daripada daun singkong yang tiap hari aku lahap, tanpa teman bermain di gua mulut ini.

Rasanya pagi ini ada yang berbeda. Si Romi teman seperjuangan nyopet di perempatan lampu merah itu, tak menyapa. Dia diam, dan menginjak kaki yang ku lunjurkan. Apa dia tak lihat? ah! dasar Romi....

Juga mentari pagi ini, kenapa warna peraknya mengumpul menyorot padaku, sedang sebagian tubuh terasa tertarik masuk ke dalam pusaran cahayanya.

"Ada dimanakah aku?", semuanya terasa asing dan dingin.

DDH, 17022014

Tidak ada komentar: